2

Semangat Menyambut Panggilan Dawah

Oleh : Ust.
Abdul Muiz, MA

Mukadimah
Bersemangat dalam menyambut panggilan da’wah menunjukkan adanya keseriusan (jiddiyah) karena keseriusan adalah salah satu ciri kader militan. Keimanan seseorang belum sempurna kecuali apabila mendengar panggilan Allah dan Rasul-Nya segera menyambut panggilan tersebut dengan senang hati dan penuh semangat, Al-Qur’an mengingatkan kita tentang hal itu “Hai orang¬-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasai antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan “. (AI-Anfal :24 ).

Kader da’wah apabila mendengar panggilan da’wah ia sambut dengan kata-kata “sam’an wa tha’atan” (kami dengar dan kami taati) “labaik wa sa’daik” (kami siap melaksanakan perintah dengan senang nati). Para sahabat Rasul di saat menjelang perang Badar, ketika Rasul ingin mengetahui kesiapan mereka untuk perang menghadapi musyrikin Quraisy, mengingat tujuan awal mereka bukan untuk perang tetapi untuk menghadang kafilah dagang yang dipimpin oleh Abu Sufyan, namun kafilah itu berhasil meloloskan diri dari hadangan kaum muslimin, maka Rasul bermusyawarah dengan mereka tentang apa harus dilakukan. Dari kalangan Muhajirin Abu Bakar dan Umar bin Khattab menyambut baik untuk terus maju ke
medan pertempuran.
sedangkan Miqdad bin `Amru mengatakan : “Wahai Rasulullah, laksanakanlah apa yang telah diberitahukan Allah kepadamu, kami tetap bersamamu. Demi Allah kami tidak akan mengatakan kepadamu seperti apa yang dikatakan Bani Israel kepada Nabi Musa,yaitu “Pergilah kamu bersama Rabbmu dan berperanglah, kami tetap duduk di sini”. Tetapi yang kami katakan kepadamu adalah : “Pergilah kamu ber-sama Rabbmu dan berperanglah, kami ikut berperang bersamamu”. Demi Allah yarg mengutusmu membawa kebenaran, seandainya kamu mengajak kami ke Barkul Ghimad (suatu tempat di Yaman, red ) pasti kami tetap mengikutimu sampai di
sana. Setelah sahabat Muhajirin, sahabat Anshar yang diwakili oleh Sa’ad bin Mu’adz menyampaikan sikapnya :”Kami telah beriman kepadamu dan kami bersaksi bahwa apa yang kamu bawa adalah benar, atas dasar itu kami telah menyatakan janji untuk senantiasa taat dan setia kepadamu. Wahai Rasulullah lakukanlah apa yang kau kehendaki, kami tetap bersamamu.Tidak ada seorangpun diantara kami yang mundur dan kami tidak akan bersedih jika kamu menghadapkan kami dengan musuh esok hari. Kami akan tabah menghadapi peperangan dan tidak akan melarikan diri. Semoga Allah akan memperlihatkan kepada kamu apa yang sangat kamu inginkan dari kami. Marilah kita berangkat Ilahi. Dalam riwayat lain, bahwa Saad bin Muadz berkata kepada Rasulullah, “Barang kali kamu khawatir jika kaum Anshar memandang bahwa mereka wajib menolongmu hanya di negeri mereka. Saya sebagai wakil kaum Anshar menyatakan, jalankan apa yang kau kehendaki, jalinlah persaudaraan dengan siapa saja yang kau kehendaki dan putuskanlah tali persaudaraan dengan siapa saja yang kau kehendaki. Ambillah harta benda kami sebanyak yang kau perlukan dan tinggalkanlah untuk kami seberapa saja yang kamu sukai, apa saja yang kau ambil dari kami itu tebih kami sukai daripada yang anda tinggalkan. Apapun yang kamu perintahkan maka kami akan mengikutinya, demi Allah jika kamu berangkat sampai ke Barkul Ghimad kami akan berangkat bersamamu, demi Allah seandainya kamu menghadapkan kami pada lautan kemudian kamu terjun ke dalamnya maka kamipun akan terjun ke dalamnya bersamamu. (Rakhikul Makhtum 285-286 ). Hasan AI-Banna berkata da’wah pada tahap pembinaan (takwin) shufi disisi ruhiyah dan askari (kedisiplinan) dari sisi amaliyah (operasional), slogannya adalah amrun wa thoatun (perintah dan laksanakan ) tanpa ada rasa bimbang, ragu, komentar, dan rasa berat’. (Risalah Pergerakan 2).

Empat Aspek Ruhul Istijabah

1. Istijabah Fikriyah (Menyambut dengan pikiran /dengan sadar).
Kader da’wah ketika mendapat tugas dari Murobbi, Pembina, maupun Qiyadah tidak hanya sekadar melaksanakan perintah dan tugas, tetapi ia sadar betul apa yang dikerjakannya adalah dalam rangka taat kepada Allah dan meraih ridho-Nya, bila dilakukan mendapat pahala dan bila tidak dilakukan dosa.
Karena itu para kader da’wah harus memahami, bahwa melaksanakan perintah dan tugas yang datang dari Murobbi, Pembina atau Qiyadah dalam rangka taat kepada Allah. karena Allah telah mewajibkan taat kepada pemimpin : “Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul serta (taatilah) pemimpin kamu… ” (An-Nisaa:59). Demi laksananya tugas secara maksimal maka seorang kader selalu memikirkan tentang bagaimana cara melaksanakan tugas dengan baik, maka ia harus memperhatikan waktu, cara dan sarana yang tepat sehingga pekerjaan dapat diselesaikan sesuai perintah, rencana, tujuan serta sasaran yang telah ditetapkan.
Bahkan harus memiliki kemampuan memberikan saran, pendapatdan dan pandangannya demi terselenggaranya program dengan baik, seperti yang dilakukan oleh sahabat Habab bin AI Mundzir ketika mengusulkan tempat yang strategis untuk posisi pasukan kaum muslimin pada perang Badar. Habab berkata, ”Wahai Rasulullah, apakah dalam memilih tempat ini anda menerima wahyu dari Allah sehingga tidak dapat diubah lagi, ataukah strategi perang? tempat ini kupilih berdasarkan strategi perang”. Kemudian Habab berujar kembali “wahai Rasulullah tempat ini tidaklah strategis. Ajaklah pasukan pindah ke tempat air yang terdekat dengan musuh. Kita membuat markas di
sana dan menutup sumur-sumur yang ada di belakangnya, kemudian kita buat kubangan dan kita isi dengan air hingga penuh. Dengan demikian kita berperang dalam keadaan mempunyai persediaan air minum”. Rasulullah menjawab, “Pendapatmu sungguh baik “. Begitu pula, pada saat pasukan koalisi, yang terdiri dari kaum Musyrikin, bangsa Yahudi dan orang-orang Munafik menyerang Madinah, Sahabat Salman Al-Farisi menyampaikan usulannya kepada Rasulullah yaitu menggali parit di sekeliling Mmadinah, kemudian Rasulullah menerima usulan tersebut dan menjadi strategi perang yang ditetapkannya sehingga perang itu diberi nama dengan perang Khandak (parit). Pada perang Qodisiah, perang antara tentara pasukan Persia, yang terjadi di Irak pada masa pemer-intahan Umar bin Khattab, Qoqo bin Amr terus berpikir untuk menaklukkan pasukan bergajah yang menjadi andalan pasukan Persia. Sampai akhirnya Qoqo mendapatkan sebuah ide, untuk membuat patung gajah, agar kuda-kuda milik kaum Muslimin terbiasa melihat gajah sehingga ketika kuda-kuda itu berhadapan dengan gajah-gajah yang sebenarnya, tidak takut menghadapinya. Ternyata ide Qoqo ini menghasilkan buah. Pada perang Qodisiah tentara kaum Muslimin berhasil menaklukan tentara
Persia yang mengandalkan pasukan bergajahnya. Khalifah Umar bin khattab pernah berucap, “Tidak akan terkalahkan kaum muslimin selama di
sana ada Qoqo bin Amr”. Dalam
surat Ar-Ra’d ayat 19 Allah mengingatkan kita akan keistimewaan orang¬-orang mengoptimalkan akal pikirannya: “Apakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb¬mu itu benar, sama dengan orang yang buta (tidak menggunakan akal pikirannya). Hanya orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran “.
2. Istijabah Nafsiyah (Menyambut dengan perasaan/emosi).
Para aktivis dan kader da’wah bila mendapat perintah dan tugas, baik tarbawi, da’awi maupun tanzhimi harus menyamtbutnya dengan perasaan senang, gembira, bahagia dan bersemangat untuk melaksanakannya. Janganlah perintah dan tugas itu disambut dengan rasa berat, malas, enggan dan tidak bergairah. Apapun kondisi yang terjadi pada diri kita, baik dalam keadaan susah, berat maupun kekuatan ma’nawiyah tidak mendukung, apalagi dalam keadaan bergembira.
Bila datang panggilan da’wah kita tidak boleh menolaknya atau merasa enggan dan malas memenuhnya. Allah berfirman: ”Berangkatlah kamu dalam keadaan merasa ringgan ataupun ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah, yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (At-Taubah :41).
Kemudian pada ayat yang lain Allah menjelaskan,”Hai orang-orang yang beriman apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu “Berangkatlah untuk berperang di jalan Allah “; kamu merasa berat dan ingin di tempatmu Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? padahal keni’matan hidup di dunia itu dibandingkan dengan kehidupan di akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya kamu dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu “. (At¬Taubah:38-39).
Para kader yang dibina oleh Rasulullah ketika mendengar panggilan jihad mereka berlomba-lomba untuk memenuhinya dengan harapan mendapat kesempatan mati syahid di jalan Allah. Kelemahan fisik tidak menjadi alasan untuk tidak berangkat memenuhi panggilan jihad, bahkan bila mereka tidak dapat memenuhi panggilan jihad karena udzur, mereka menangis. “Dan tidak berdosa atas orang-orang yang apabila datang kepadamu sepaya kamu memberi mereka kendaraan. Lalu kamu berkata :”Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu “. Lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan “. (At-Taubah: 92). Mereka begitu semangat dalam melaksanakan perintah da’wah, perintah tersebut dikerjakan dengan suka cita, riang, gembira serta bahagia, bila mereka dapat melakukannya dengan baik. Sebaliknya, mereka bersedih dan berduka cita bila tidak dapat menjalankan perintah walaupun disebabkan udzur.

3. Istijabah Maaliyah (Menyambut dengan harta).
Da’wah untuk menegakkan dinul Islam muka bumi adalah kerja besar bahkan tidak ada pekerjaan yang Iebih besar darinya. Kerja besar ini membutuhkan dana yang besar pula sebagaimana lazimnya proyek besar. Dalam proyek da’wah pendanaan ditanggung oleh para da’i sendir-i.
Berkorban dengan harta dan jiwa sudah menjadi satu paket yang tidak boleh dipisahkan satu dari yang lainnya. Seperti apa yang Allah rmpaikan dalam Qur’an, “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang yang beriman, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka… ” (At-Taubah : 111). Kemudian ayat lain Allah menjelaskan, “Hai orang¬-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan imu dari azab yang pedih ?Yaitu, kamu beriman pada Allah dan RasuINya dan berjihad di jalan Alllah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya. ” (As-Shaff : 10- 11).
Kader da’wah tidak pelit dengan hartanya untuk pembiayaan berbagai kegiatan da’wah dalam da’wah para kader dan aktivis siap mengorbankan hartanya, jangan mengharapkan keuntungan materi serta harta benda dari da’wah. Khadijah isteri Rasulullah telah memberikan seluruh kekayaannya untuk kepentingan da’wah. Pada perang tabuk kaum uslimin berlomba-lomba menginfakkan hartanya dan bersodaqah. Usman bin Affan sebelumnya telah menyiapkan kafilah dagang yang akan berangkat ke Syam berupa dua ratus onta lengkap dengan pelana serta barang-barang yang berada di atasnya, beserta dua ratus uqiyyah. Setelah mendengar pengumuman Rasulullah, Usman datang pada Rasul kemudian men-shadaqah-kan semua itu. Kemudian Usman menambah lagi seratus onta dengan pelana dan perlengkapannya. Kemudian beliau datang lagi membawa seribu dinar diletakkan di pangkuan Rasulullah. Rasulullah memperhatikan apa yang dishadaqahkan oleh Usman itu seraya berkata: “Apa yang diperbuat oleh Usman setelah ini, tidak akan membahayakannya”. Usman terus bershadaqah hingga jumlahnya mencapai sembilan ratus ekor onta dan seratus ekor kuda, belum termasuk uang. Setelah Usman selesai memberikan shadaqah, giliran Abdur Rahman bin Auf datang membawa Dua ratus uqiyyah perak, tak lama setelah Abdur Rahman, datanglah Abu Bakar dengan membawa seluruh hartanya yang jumlahnya Empat ribu dirham, sampai-sampai beliau tidak menyisakan hartanya untuk keluar-ganya kecuali Allah dan Rasulnya. Kemudian shahabat-shahabat yang lain berdatangan. Umar menyerahkan setengah hartanya. AI-Abbas datang menyerahkan hartanya yang cukup banyak. Thalhah, Sa’ad bin Ubadah, Muhammad bin Maslamah semuanya datang menyerahkan shadaqahnya. Tidak ketinggalan Ashim bin Adi datang menyerahkan sembilan puluh wasaq kurma. Kemudian diikuti sahabat yang lain mulai dari yang scdika sedikit sampai yang banyak. Sampai ada di antara mereka yang berinfaq dengan segenggam atau dua genggam kurma, karena hanya itu yang mereka mampu lakukan. Kaum wanitapun menyerahkan berrbagai perhiasan yang yang mereka miliki, seperti gelang tangan, gelang kaki, anting-anting dan cincin. Tidak ada seorangpun yang kikir menahan hartanya kecuali orang-orang Munafq. Allah berfirman : “Orang-orang Munafiq yang mencela orang-orang Mu’min yang memberi shadaqah dengan sukarela, dan merekapunv menghina orang-orang yang tidak memperoleh apa yang dishadaqahkan sekedar kesanggupannya “. (At -Taubah :79)
4. Istijobah Harakiyah (Menyambut dengan aktivitas)
Aktivis da’wah adalah yang orang aktif dalam kegiatan da’wah, selalu hadir dalam kegiatan da’wah dan berusaha untuk berada di barisan orang-orang mengutamakan kerja daripada berbicara. Bahkan berupaya untuk berada di garda terdepan dalam mempertahankan dan membela Islam. Perlu diingat, tugas da’wah yang diemban aktivis sangat banyak., lebih banyak dari waktu yang tersedia. Tugas antara lain, pertama: Kewajiban dalam Tarbiyah, tujuannya, agar kualitas dan dan mutu kader semakin baik. Kedua: Kewajiban dalam Da’wah, tujuannya, agar penyebaran da’wah semakin luas. Ketiga: Kewajiban yang sifatnya tanzhimiyah, bertujuan, agar amal jama’i stuktural semakin kokoh.
Bila kita pelajari siroh Nabawiyah dan siroh As-Salaf As-Shalih, kita bisa lihat, pola kehidupan mereka. Mereka lebih banyak bekerja untuk umat dibanding untuk diri dan keluarga mereka karena kesibukan yang begitu padat hampir tidak ada waktu untuk istirahat, bahkan tidak menyempatkan diri untu istir-ahat.
Para sahabat Rasul tidak pernah berhenti berjihad di jalan Allah, sebagian ahli sejarah mencatat sebanyak seratus kali peperangan selama sepuluh tahun Rasul di Madinah, baik yang dipimpin langsung oleh Rasul dan yang dipimpin oleh sahabatnya. Baik itu pertempuran besar maupun yangkecil, baik yang jadi maupun tidak jadi perang. Sehingga jika diambil rata, peperangan terjadi sebulan sekali, artinya mobilitas jihad sangat tinggi. Begitu pula di masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq. Peperangan dilakukan selama dua tahun tiga bulan sepuluh hari, belum lagi peperangan yang dipimpin oleh Khalid bin Walid yang jumlahnya sebanyak dua puluh kali peperangan yang dilakukan terus menerus secara berkesinambungan.
Melihat kondisi saat ini, dimana tuntutan da’wah begitu besar, yang disertai ancaman global, tentu hal ini, menuntut kesungguhan, keseriusan serta mobilitas da’wah dan jihad yang tinggi, jika tidak maka kekuatan batil yang akan berkuasa di bumi ini. Dalam hal ini, Allah berfirman, “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar¬-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali¬-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan, ikutilah agama orang tua Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan begitu pula dalam al-Qur’an ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung”. (AI-Hajj :76 ).

Penutup
Ikhwah dan Akhwat fillah, sudahkah pikiran kita terkonsentrasikan dan terfokuskan untuk memikirkan umat, memikirkan bagaimana cara yang efektif dalam melakukan da’wah untuk mereka. Sudahkah kita menyumbangkan pendapat, gagasan dan ide terbaik untuk kemajuan da’wah. Sudahkah kita mempersembahkan kreatifitas untuk pengembangan da’wah yang lahir dari hasil kajian, telaah, renungan dan evaluasi kerja da’wah saat ini?!.
Ikhwah dan Akhwat fillah, sudahkah kita merasa gembira senang dan bahagia mana kala kita mendengar perintah, menerima tugas dan mendapatkan amanah da’wah.Apakah kita merasa bersedih, menangis dan merasa rugi jika kita tidak dapat melaksanakan tugas dengan baik, tidak dapat ikut dalam kegiatan da’wah di saat uzur. Menyesalkah kita jika tidak dapat menyelesaikan tugas dengan baik ?!
Ikhwah dan Akhwat fillah, sudahkah kita mengeluarkan sebagian dari rizki yang kita dapatkan untuk kepentingan da’wah. Sudahkah kita berniat dan ber-Azam untuk menginfaqkan harta kita di jalan Allah? Sudahkah kita miliki tabungan da’wah?
Ikhwah dan Akhwat fillah, betulkah kita sebagai aktivis da’wah, apa buktinya? Apa kontribusi riil kita untuk da’wah? Apa prestasi da’wah kita selama ini? Sudah berapa orang yang telah kita rekrut melaui da’wah fardiyah atau da’wah jamahiriyah? sudah berapa orang kader yang kita tarbiyah? Sudahkah kita menjadikan waktu, kerja, profesi dan seluruh aktivitas kita sebagai kegiatan da’wah ?!
Ikhwah dan Akhwat fillah, keimanan kita baru diakui oleh Allah apabila ada ruhul istijabah pada diri kita, dan baru akan sempurna iman kita jika aspek-aspek istijabah itu telah terpenuhi. Allah berfirman : “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan terhadap orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka sebelum mereka berhijrah, akan tetapi jika ¬mereka meminta pertolongan kepadamu dalam urusan pembelaan agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada ikatan perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan “. (AI-Anfal : 72). ”Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta ¬berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi ¬pertolongan kepada orang-orang muhajirin, ¬mereka itulah orang-orang yang bena-benar ¬beriman. Mereka memperoleh ampunan, rizki (ni’mat ) yang mulia “, (al-Anfal : 74)

Sumber: Majalah Tarbiyah Edisi 4 Th. I / Sya’ban-Ramadhan 1424 H/Oktober-November 2003 M

2

Runtuhnya Semangat Berjuang

 Kondisi iman kita bisa naik bisa turun, itu sudah sunnatullah. Pada saat iman kita sedang turun kita upayakan untuk tetap menjaga amal ibadah kita dan kedekatan kita kepada Allah serta tetap berada di lingkungan orang-orang yang sholih agar kita tidak semakin terpuruk dalam kefuturan, runtuhnya semangat berjuang dan akhirnya berguguran di jalan dakwah. Dari hari ke hari mungkin kita semakin banyak mendengar saudara kita yang berguguran seperti itu.
Ada yang dulunya aktif banget di
medan dakwah tiba-tiba menyatakan undur diri dengan beberapa alasan dan alasan terkuatnya karena kecewa.
Ada pula yang dah lama tidak ngaji karena alasan sibuk atau ada juga yang karena merasa kecewa.
Ada pula yang setelah lulus sikap dan pemikirannya berubah drastis. Jangankan dakwah, ngaji cuma sebulan sekali atau kalo lagi luang aja. Tapi sadarkah kita jika bisa jadi kita ikut andil dalam kefuturan saudara-saudara kita itu? Bisa jadi mereka undur diri dari jalan ini karena kecewa terhadap kita yang tidak memenuhi haknya sebagai saudara, hanya sibuk dengan amanah kita masing2. Atau kecewa kepada kita yang ‘menjauhinya’ ketika dia khilaf padahal dia tidak setegar Ka’ab bin Malik. Bukannya kita segera menolongnya ketika sedang lemah imannya justru samakin mendorong ke jurang kefuturan. Bisa jadi suatu saat mereka merindukan ingin kembali mengungsung panji-panji Islam ini tetapi apadaya dia merasa terasing karena sikap acuh tak acuh kita setelah dia pergi. Artikel berikut ini semoga bisa menyadarkan tentang sebab-sebab runtuhnya semangat berjuang dan mengantisipasinya sejak dini.

Kita harus menyadari bahwa apa yang kita lakukan dengan dakwah ini bukanlah sekedar mengisi kehidupan hari ini. Kita harus memandang bahwa setiap diri kita adalah tinta-tinta sejarah yang akan mempengaruhi kehidupan esok hari. Karenanya jika jiwa yang ada dalam raga yang lemah ini adalah juga jiwa yang lemah, maka buruklah sejarah umat esok hari. Akan tetapi jika raga ini dihuni jiwa pejuang, maka setiap masa yang datangng hanyalah saat menunggu tegaknya keadilan

Militansi seorang da’i adalah karakter pertumbuhannya tidak bisa mengandalkan kekuatan diri sendiri. Ia adalah karakter yang hadir dari kolaborasi proses berbagai komponen. Kondisi lingkungan, baik sarana dakwah maupun interaksi yang terjalin di dalamnya merupakan salah satu komponen penting bagi pertumbuhan karakter tersebut. Artinya kekuatan seseorang untuk bertahan dengan segudang amanah dan beban dakwahnya sedikit banyak juga dipengaruhi oleh lingkungan dakwah. Maka evaluasi kontinyu suasana kondusif tumbuh suburnya karakter militant di lingkungan dakwah harus menjadi perhatian utama.

Komponen lingkungan tersebut seringkali kurang di perhatikan. Dalam perjalanan dakwah terkadang kita tidak adil dalam memberikan penilaian terhadap kondisi keimanan ikhwah di sekitar kita. Kita begitu mudah ‘cuci tangan’ dengan menyalahkan kualitas pembinaan sebagai gugurnya sang pejuang. Padahal bisa jadi diri kita sebagai bagian dari komponen lingkungan termasuk penyebab utama permasalahan tersebut.

Di lapangan dakwah ada beberapa fakta yang menegaskan tentang peran lingkungan dalam melemahkan karakter militant sang pejuang. Dalam prosesnya tanpa disadari, kita menyumbang andil yang tidak sedikit menyuburkan ‘kesalahan’. Bebrapa diantaranya yang perlu kita waspadai adalah:

Taushiah yang Menghukum Bukan Menyadarikan

“Sudah sepekan ini Rifki terjebak dalam kelemahan. Hal tersebut mempengaruhi pola interaksinya. Ia jadi lebih mencair. Puncaknya adalah ketika sabtu sore menjelang magrib, ia berjalan berduaan dengan Marni. Tanpa disadari olehnya kejadian tersebut disaksikan beberapa ikhwan. Pada pecan selanjutnya kejadian serupa sempat terjadi beberapa kali. Rifkipun menarik diri dari aktifitas Mushollah. Sejak saat itu, nama Rifki menghilang dari peredaran”

Tanpa kita sadari pula pendekatan terhadap masalah ternyata menjadi penyebab utama ‘gugurnya’ karakter militant seorang aktifis dakwah. Tiba-tiba saja semua ikhwah merasa wajib ‘menjauhi’ Riffki. Padahal tidak seorang pun berusaha secara jelas mengklarifikasi latar permasalahan yang dialaminya. Sangsi social yang kita berikan terlalu berat. Lingkungan dakwah yang seharusnya saling menguatkan dan membahagiakan, menjadi lingkungan yang tidak nyaman buat Rifki. Sementara kebijakan yang dilakukan secara jama’I tidak begitu jelas juga. Setelah sanksi social berlaku, kita cenderung berharap agar waktu menyelesaikan semuanya. Salahkah Rifki jika ia justru semakin menjadi dan jauh. Walaupun sesungguhnya ia pun merasa berat dengan keterlanjuran tersebut.

Pengkondisian yang Salah

“Rifki sama sekali tidak paham, mengapa ia tiba-tiba ia ditarik dari amanah yang diembannya. Dia measa seperti diisolasi dari amanah dakwah. Dia menduga kuat penyebabnya adalah kejadian pecan lalu. Saat ia mencoba meminta penjelasan ia hanya dijawab, “Kuatkan dulu diri antum!”

Perlakuan yang diterima Rifki menyebabkannya justru menjadi semakin jauh dari proses perbaika. Harapannya untuk segera keluar dari permasalahan menjadi sirna. Ia dihadapkan pada dua lingkungan. Lingkungan lamanya dengan para aktivis dakwah yang kini dirasakan sangat ‘menyesakkan’ serta tidak memberikan peluang untuknya. Dan lingkungan baru yang dengan lapang siap menerimanya apa adanya.

Dalam kondisi seperti itu, kebutuhan utama Rifki adalah penguatan. Salah satu cara menguatkannya justru memeluknya ke dalam lingkungan aktifis internal. Mengembalikan semua memori waktu mengerjakan segudang amanah dakwah. Akan tetapi kebijakan yang harus dijalani membuatnya merasa hampa. Ia terjebak dalam kekosongan aktifitas. Banyaknya waktu kosong bukan menjadi solusi, sebaliknya menjadi boomerang bagi dirinya. Akhirnya iapun mencari aktifitas dan lingkungan lain yang lebih bisa menerimanya, Hilanglah nama rifki dari lingkungan lama yang katanya membahagiakan.

Pembinaan yang Parsial

Lamanya usia pembinaan, bukan jaminan terhadap matangnya kualitas pembinaan. Banyak factor lain yang sangat berpengaruh secara kompleks. Itulah yang terjadi pada diri Rizal. Ketika SMU dialah orang pertama yang semangat mengikuti pembinaan Rohis. Hal tersebut jugalah yang menempatkannya menjadi orang nomer satu di Rohis. Akan tetapi setelah lulus SMU, Rizal tidak terlihat lagi di dalam barisan para aktifis dakwah. Gayanya juga sudah berubah. Setelah ditelusuri ternyata amanah yang banyak membuatnya merasa tidak mengapa untuk meninggalkan pertemuan pembinaannya. Akhirnya tanpa disadari ia terjebak dalam keasyikan bekerja, sementara secara maknawi ia merosot dalam kelemahan. Akhirnya keletihan menghinggapi dan ia pun sulit untuk bangkit.

Perhatian terhadap masalah pembinaan adalah perhatian yang utama. Dalam keadaan apapun sedapat mungkin pelaksanaannya tidak terganggu. Selain itu peningkatan mutu pertemuaan dengan variasi pelaksanaan yang kreaktif, serta program,-program yang tepat, menjadi semacam kebutuhan mendesak. Resiko pemahaman parsial sangat mungkin terjadi jika pertemuan tersebut terjebak ke dalam rutinitas semata. Hasilnya hanya akan melahirkan kader yang lemah dan tidak tahan banting.

Kecewa terhadap Keadaan Dakwah

“Enatah kenapa Arman merasa hambar dengan amanah dakwahnya. Rencana-rencana yang dibuat seolah hanya hiasan kertas kerja. Beberapa kali pertemuan yang dirancanya gagal. Kinerja tim melemah. Sementara tim lainnya seolah bergerak sendiri-sendiri. Sudah dicoba untuk mendiskusikan permasalahan tersebut. Namun tidak pernah menghasilkan kebijakan yang jelas. Perlahan-lahan ia pun mulai masa bodoh dengan amanahnya. Belakangan ia malah terlibat aktif dalam aktivitas lain di luar amanah dakwahnya.

Tersumbatnya saluran komunikasi menyembabkan banyak ketidakjelasan yang disimpan di dalam hati aktivis. Perhatian terhadap permasalahan tersebut tidak bisa disepelekan. Meemperbanyak ruang keterbukaan akan melahirkan rasa kepemilikan yang kuat terhadap amanah dakwah. Karenanya itu menjadi suatu kebutuhan primer. Agenda dakwah. Jika dibiarkan perasaan kecewa tersebut akan melunturkan semangat kerja dan menepiskan karakter militant aktivis.

 

Silaturahim yang lemah

Arman dulunya termasuk pengurus Rohis. Namun kekecewaan membuatnya memilih aktivitas lain. Pilihan tersebut menyebabkannya menjadi jauh dari ikhwah lainnya. Sampai akhirnya ketika berpapasan pun hanya teguran formal yang dirasakannya. Setelah sekian lama, Arman merasa rindu untuk kembali bergabung dengan anak-anak Rohis. Namun ia merasa asing dan sendirian. Hal tersebut dirasakannya ketika beberapa ikhwah yang dulu sering berkunjung ke rumahnya, kini entah kemana. ‘Apakah saya tidak berhak memuliakan agama Allah kembali, sedang nabi Adam pun pernah berbuat kesalahan, tapi Allah memaafkannya’. Akhirnya Arman benar-benar tersisihkan.”

Seandainya kita mau sedikit memaknai pemahaman ukhuwah kita, tentulah kasus tersebut tidak pernah terjadi. Hanya dengan memberikan perhatian sederhana kita mampu mengikat hati-hati kita menjadi kesatuan yang utuh. Bahkan terhaadap saudara-saudara kita yang mengalami keterlanjuran, bagi mereka bukan berarti pintu dakwah tertutup. Mereka tetap berhak untuk kembali mengusung panji-panji kemuliaan. Namun terkadang kita justru menjadi penyebab lunturnya karakter militansi mereka dan membuatnya semakin menjauh.

Perubahan Lingkungan Aktifitas

“Di kampus Andri adalah salah seorang aktifis dakwah yang cukup dikenal. Akan tetapi setelah lulus,
gaya dan kelakuannya berubah drastic. Menurutnya ini tuntutan lingkungan baru, apa boleh buat. Rupanya perubahan lingkungan tidak diantisipasi olehnya. Di kampus ia menghabiskan waktunya hanya di tiga tempat, ruang kuliah, lab dan masjid. Hampir 24 jam perhatiannya tersita untuk agenda dakwah. Namun kini semuanya berubah. Jangankan dakwah, sholat jama’ah pun semakin jarang dilakukannya. Meskipun ada perasaan rindu, ia mulai merasa asing dengan kata dakwah.”

Perubahan lingkungan aktivitas pasti akan dialami oleh kita semua. Persiapan untuk menghadapi kondisi tersebut perlu dilakukan sejak dini. Kita harus memahami bahwa menguat atau melemahnya karakter militant sangat ditentukan oleh lingkungan aktivitas. Oleh karenanya jika kita mengalami perubahan lingkungan tersebut penting bagi kita untuk menjaga pengkondisian diri. Harus disadari bahwa ada lingkungan tertentu yang tidak boleh berubah dalam fase kehidupan kita. Mislanya tetap menjaga kedekatan diri dengan budaya dakwah dan lingkungan tausiyah. Ia akan hadir sebagai penguat karakter militan dimanapun kita berada.

Sebagai sang pejuan, kita dituntut mengupayakan semua faktor yang memungkinkan penguatan diri kita. Saat ini masyarakat tengah berada di persimpangan sejarah. Mereka membutuhkan contoh-contoh hidup seorang pejuang. Jika permasalahan yang menyita energi dan perhatian kita adalah karena perbuatan kita sendiri, sampai kapankah kita akan menghadirkan senyum buat mereka. Lihatlah bagaimana ternyata sebagian dari mereka masih sangat sulit membedakan kepentingan Islam dengan kepentingan lainnya. Sebagian memberikan loyalitas, sebagaimana layaknya para sahabat memandang Rasulullah. Sementara itu Fajar Islam sepertinya masih sangat lama untuk terbit di sini. Semuanya membutuhkan kekuatan, membutuhkan pengorbanan, membutuhkan keteguhan sikap, membutuhkan militansi yang sempurna dari sosok sang Pejuang. Siapakah dia, akankah diri kita termasuk di dalamnya?

”Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Rabb kami adalah Allah, kemudian mereka meneguhkan pendiriannya, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa takut dan sedih dan bergembiralah dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu” (QS.Fushshilat:30)

Wallahu a’lam bish showwab

(dikutip dari majalah Al Izzah No.14/th.2, 28 Februari 2001)

0

Tiada Hari Tanpa Militansi

 Militansi? Mungkin banyak orang yang merasa gerah atau takut mendengar kata yang satu ini.
Kata rnilitansi memang Iebih sering dipandang negatif oleh masyarakat, apalagi pada hari ini, ketika “perang terhadap terorisme” sedang Iantang-lantangnya digaungkan oleh Amerika Serikat.. Orang seringkali mengaitkan kata ini dengan “kekerasan”“senjata, “ketidakramahan”, atau “intoleransi” Lebih lagi ketika kata ini disandingkan dengan kata Islam, “Islam miIitan’.yang tergambar mungkin sekelompok pemuda berjanggut lebat sedang mengangkat senjata atau bersiap-siap rnelakukan aksi “bunuh diri”. Apakah militansi harus selalu harus diartikan seperti itu?
Bagi seorang muslim yang baik, apalagi bagi seorang aktivis da’wah, militansi mutlak diperlukan. Dan karena hal ini merupakan bagian penting dari keislaman seseorang, kita tentu tidak bisa memaknainya kecuali menurut apa yang dikehendaki oleh Islam itu sendiri.
Islam jelas merupakan agama rahmat. tapi untuk menjammn terwujudnya rahmat di muka bumi tentu dibutuhkan perjuangan serta upaya yang optimal. Islam merupakan agama yang adil, tapi agar keadilan terwujud diperlukan komitmen yang sangat kuat. Islam sudah barang tentu merupakan agama yang mndah, tapi keindahan sejati tidak akan pernah tertampakkan tanpa adanya keseriusan dan kesungguh-sungguhan dari para ‘pelukisnya’.
Di sinilah arti pentlngnya militansi bagi seorang muslim. Militansi yang kita maksud di sini adalah jiddiyah (kesungguhan), hamasah (semangat), shawabit (disiplin), komitmen, dan istiqamah. Kalau begitu, tentu saja tidak ada masalah dengan militansi, karena itu memang diperintahkan oleh Islam sekaligus dibutuhkan untuk menegakkan nilai-nilainya di muka bumi. Tanpa militansi, nilai-nilai kebenaran, kebaikan, rahmat, keadilan, serta keindahan sejati tidak mungkln terwujud dengan baik.
Militansi yang harus tumbuh pada diri setlap aktlvis da’wah adalah seperti militansi yang pernah dicontohkan oleh Nabi SAW dan para sahabatnya. Militansi Nabi SAW dan para sahabat adalah militansi yang seimbang dan pertengahan. Ia bisa berbentuk ketegasan terhadap musuh, tapi lembut terhadap saudara seiman. Ia adalah ketegasan sikap yang tidak mengabaikan akhlak yang mulia. Ia adalah teguran yang keras untuk meluruskan kesalahan, sebagaimana Nabi SAW menegur sahabatnya ketika khilaf, menyakiti perasaan saudaranya. Namun, ia juga merupakan kecintaan yang mendalam serta perbuatan yang menyenangkan, sebagaimana Nabi SAW bendiri ketika jenazah seorang Yahudi sedang diusung. Jadi seorang muslim yang militant berkomitmen pada Islam dan mengetahui bagaimana la haus bersikap dan berbuat sesuai dengan tuntunan Islam.
Militansi menuntut totalitas dalam penerimaan dan pelaksanaan seluruh nilai-nilai serta amaliah Islam. Ini seperti Umar bin Khattab yang memusuhi Nabi sangat pada masa pra-keimanan, kemudian membela Nabi sangat setelah berjumpa hidayah. Militansi menuntut kesungguhan dalam berjuang, seperti seorang sahabat yang membuang kurma-kurmanya di Perang Badar karena tak sabar menanti syahid. Militansi memungkinkan munculnya visi yang sangat kuat, seperti Anas bin Nadzar yang sudah mencium wangi surga ketika menginjakkan kakinya di peperangan Uhud, atau seperti para sahabat yang “melihat” surga dan neraka ketika tengah duduk di majelisnya Rasulullah SAW. Militansi akan melahirkan motivasi nan tinggi, seperti Amr bin Jamuh yang tetap ngotot pergi ke
medan jihad dengan satu kakinya yang pincang.
Militansi mengharuskan adanya konsistensi, seperti jihadnya Abu Ayub yang tidak kenal Ielah kendati sudah tua usia, atau seperti amal seorang guru Imam Hanafi yang meninggal dunia tatkala shalat. Militansi mewajibkan kesabaran, seperti sabarnya Ayub AS menanggung sakit, atau sabarnya
Nuh AS benda’wah ratusan tahun. Militansi menggambarkan semangat, seperti semangat para tabi’in yang merantau ke bebenapa negeri hanya untuk mencani sebuah hadits, atau sepenti semangat belajar Imam Thabar dan Al-Biuni yang masih bendiskusi agama bebenapa detik sebelum meninggalnya. Militansi berasal dan keyakian yang dalam, seperti keyakinan Abu Bakar setiap saat pada “sahabatnya” tanpa perlu pembuktian rasional apa pun, atau seperti Abu Dzar yang meyakini janji Nabi tentang dirinya tanpa perlu membuktikannya secara langsung.
Militansi juga berarti keberanian, seperti keberanian lbnu Mas’ud membaca Al-Qur’an depan musyrikin Quraisy hingga dipukul babak belur, atau seperti Hudzaifah yang seketika berdiri untuk mengintai musuh di malam yang gelap tatkala Nabi berkata “ ” Militansi juga bermakna ketundukan dan kepasrahan pada Allah seperti ibadahnya Abu Darda yang nyaris melupakan hak-hak diri dan keluarganya, atau seperti infaqnya Abu Bakar dan Abdurnahman bin Auf yang nyaris mengabaikan kebutuhan diri dan keluarganya. Militansi bermakna kecintaan yang mendalam pada Nabi SAW seperti Bilal yang tak sanggup melantunkan adzan setelah wafatnya Nabi, atau seperti Ibnu Umar yang berharap tapak-tapak untanya mengenai bekas-bekas tapak unta Nabi dalam setiap penjalanannya. Dan akhirnya, militansi adalah istiqamah di jalan-Nya, sebagaimana istiqamahnya AIi, Salman, dan seluruh sahabat lainnya, yang tak pernah bisa digoda dunia hingga akhir hayatnya. Wa laa tamuutunna ilIa wa antum muslimuun ‘dan janganlah kamu mati melainkan dalam keadaan muslim’.
Seperti itulah makna militansi bagi seorang muslim sejati, dan terutama bagi seorang aktivis da’wah. Karena itu, ia seharusnya dipegang teguh setiap saat. Ia harus menjadi slogan abadi yang torus mengawal dan mengiringi perjalanan hidup seorang aktivis da’wah. Tiada hari tanpa militansi.

Sumber: Majalah SAKSI

catatan: ternyata makna militansi cukup luas, nggak sekedar semangat (hamasah) saja tetapi juga jiddiyah (kesungguhan), hamasah (semangat), shawabit (disiplin), komitmen, kesabaran, keberanian, tawakal dan istiqamah

Dakwah Ini Tidak Bisa Dipikul OIeh Orang Yang Manja

Dalam perjalanan ke Najed. Abu Musa Al Asyari RA meriwayatkan. “Dalam perjalanan itu kami keluar bersama Rasulullah SAW. Waktu itu kami enam orang bergantian mengendarai satu unta. Seorang naik unta secara bergantian. Sambil menunggu giliran kami harus menempuh perjalanan yang panjang. sehingga telapak kaki kami pecah-pecah dan kuku-kukunya pun copot. Waktu itu kami balut kaki kami dengan sobekan kain sehingga aku menyebut peperangan itu perang Dzatur Riqaa “Sobekan Kain.” Abü Musa Al Asyari menyebutkan hadits ini tetapi kemudian ia tidak menyukainya. Seolah-olah dia tidak suka untuk menceritakan pengalamannya.
Dalam riwayat lbnu lshaq dan Ahmad dan Jabir bin Abdullah RA ia menceritakan. “Kami berangkat bersama Rasulullah SAW pada perang Dzatur Riqaa. Pada kesempatan itu tertawanlah seorang wanita musyrikin. Setelah Rasulullah SAW berangkat pulang, suami wanita itu yang sebelumnya tidak ada di rumah baru saja datang. Kemudian lelaki itu bersumpah tidak akan berhenti mencari sebelum dapat mengalirkan darah para sahabat Muhammad SAW. Lalu lelaki itu keluar mengikuti jejak perjalanan Rasulullah SAW. Pada sebuah lorong di suatu lembah Rasulullah SAW bersama para sahabat berhenti. Kemudian beliau bersabda, “Siapakah di antara kalian yang bersedia menjaga kita malam ini?” Jabir berkata, “Maka majulah seorang dari Muhajirin dan seorang lagi dan Anshar lalu keduanya menjawab, ‘Kami siap untuk berjaga ya Rasulullah’. Nabi Muhammad SAW berpesan Jagalah kami di mulut lorong ini.” Jabir mencenitakan waktu itu, Rasulullah SAW bensama para sahabat berhenti di lorong suatu lembah.
“Ketika kedua orang sahabat itu keluar ke mulut lorong, sahabat Anshar berkata pada sahabat Muhajirin, ‘Pukul berapa engkau inginkan aku berjaga, apakah permulaan malam ataukah akhir malam?’ Sahabat Muhajirin menjawab, ‘Jagalah kami di awal malam.’ Kemudian sahabat Muhajirin itu berbaring dan tidur Sedangkan sahabat Anshar melakukan shalat. Jabir berkata, datanglah lelaki musyrikin itu dan ketika mengenali sahabat Anshar dia paham bahwa sahabat itu sedang bertugas jaga. Kemudian orang ini memanahnya tepat mengenai dirinya. Lalu sahabat Anshar mencabutnya kemudian bendiri tegak melanjutkan shalatnya. Kemudian orang musyrikin itu memanahnya lagi dan tepat mengenainya lagi, lalu sahabat itu mencabut kembali anak panah itu kemudian berdiri tegak melanjutkan shalatnya. Kemudian untuk ketiga kalinya orang itu rnemanah kembali sahabat Anshar tersebut dan tepat niengenai dirinya. Lalu dicabut pula anak panah itu kemudian ia rukuk dan sujud. Setelah itu la membangunkan sahabat Muhajirin seraya berkata, ‘Duduklah karena aku telah dilukai.’ Jabir berkata, “Kemudian sahabat Muhajirin itu melompat mencari orang yang melukai sahabat Anshar itu. Ketika orang musyrikin itu melihat keduanya ia sadar bahwa dirinya telah diketahui maka ia pun melarikan din. Ketika sahabat Muhajirin mengetahui darah yang melumuri sahabat Anshar, ia berkata, ‘Subhanallah kenapa engkau tidak membangunkan aku dan tadi?’ Sahabat Anshar menjawab, ‘Aku sedang membaca
surat dan aku tidak ingin memutusnya. Namun, setelah orang itu berkali-kali memanahku barulah aku rukuk dan memberitahukan dirimu. Demi Allah SWT kalau bukan karena takut mengabaikan tugas penjagaan yang diperintahkan Rasulullah SAW kepadaku niscaya nafasku akan berhenti sebelum aku membatalkan shalat.”
Kesetiaan Memenuhi Seruan Da’wah, lndikasi Sikap Militan Kader Penjalanan dawah bukanlah perjalanan yang banyak ditaburi oleh kegemerlapan dan kesenangan melainkan ia merupakan perjalanan panjang yang penuh tantangan dan rintangan yang berat. Telah banyak kita dapati sejarah orang-orang terdahulu yang menasakan perjalanan dawah ini.
Ada yang disiksa, ada pula yang harus meninggalkan kaum kerabatnya ada pula yang diusir dan kampung halamannya. Dan sederetan kisah penjuangan lainnya yang banyak tersebar bukti dan pengorbanannya dalam jalan da’wah mi. Mereka telah merasakan dan sekaligus membuktikan cinta dan kesetiaan mereka terhadap dawah.
Abu Musa Al Asyari dan para sahabat lainnya — Semoga Allah SWT meridhai mereka—telah merasakannya hingga kaki-kaki mereka robek dan kukunya copot. Namun, mereka arungi penjalanan itu tanpa mengeluh sedikit pun bahkan mereka malu untuk menceritakannya karena keikhlasan mereka dalam perjuangan ini. Keikhlasan membuat mereka gigih dalam pengorbanannya dan menjadi tinta emas sejanah umat da’wah ini.
Pengorbanan yang telah mereka berikan dalam perjalanan da’wah ini menjadi suri teladan bagi generasi sesudahnya. Karena kontribusi yang telah mereka sumbangkan, maka da’wah ini tumbuh bersemi dan generasi berikutnya memanen hasilnya dengan gemilang. Kawasan Islam telah tersebar ke seluruh pelosok dunia. Umat Islam telah mengalami populasi dalam jumlah besar. Semua itu merupakan karunia yang diberikan Allah SWT melalui kesungguhan dan kesetiaan para pendahulu da’wah ini. Semoga Allah meridhai mereka dan mereka pun ridha kepadaNya..
Mereka telah mengalami Iangsung apa yang difirmankan Allah SWT dalam Al Quran
surat At Taubah ayat 42, berikut:
“Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan penjalanan yang tidak berapa jauh, pastilah meneka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah: ‘Jika kami sanggup tentulah kami berangkat bersamamu’ Mereka membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta”.
Mereka juga telah melihat siapa-siapa yang dapat bertahan dalam mengarungi perjalanan yang berat itu. Hanya kesetiaanlah yang dapat tabah meniti perjalanan da’wah ini. Kesetiaan yang menjadikan pemiliknya sabar dalam menghadapi cobaan dan ujian. Menjadikan mereka optimis menghadapi kesulitan dan siap berkorban untuk meraih kesuksesan. Kesetiaan yang menghantarkan jiwa-jiwa patriotik untuk berada pada barisan terdepan dalam perjuangan ini. Kesetiaan yang membuat pelakunya berbahagia dan sangat menikmati beban hidupnya. Setia dalam kesempitan dan kesukaran demikian pula setia dalam kelapangan dan kemudahan.
Sebaliknya orang-orang yang rentan jiwanya dalam perjuangan ini tidak akan dapat bertahan lama. Mereka mengeluh atas beratnya perjalanan yang mereka tempuh. Mereka pun menolak untuk menunaikannya dengan berbagai macam alasan agar mereka diizinkan untuk tidak ikut. Mereka pun berat hati berada dalam perjuangan ini dan akhirnya berguguran satu persatu sebelum mereka sampai pada tujuan perjuangan. Penyakit wahn telah menyerang mental mereka yang rapuh sehingga mereka tidak dapat menerima kenyataan pahit sebagai resiko dan sunnah dakwah ini. Malah mereka menggugatnya lantaran anggapan mereka bahwa perjuangan dakwah tidaklah harus mengalami kesulitan.
“Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya. Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka. Maka Allah melemahkan keinginan niereka dan dikatakan kepada mereka ‘Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu.’ (At Taubah, 9: 45-46)
Kesetiaan merupakan indikasi sikap militan kader da’wah. Sikap ini membuat mereka stand by menjalankan tugas yang terpikul di pundaknya. Mereka pun dapat menunaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Bila ditugaskan sebagai prajurit terdepan dengan segala akibat yang akan dihadapinya ia senantiasa berada pada posnya tanpa ingin meninggalkannya sekejap pun. Atau bila ditempatkan pada bagian belakang maka ia pun akan berada pada tempatnya tanpa berpindah-pindah. Sebagaimana yang disebutkan Rasulullah SAW dalam beberapa riwayat tentang prajurit yang baik.
Abdul Fattah Abu Ismail Rahimahullah, salah seorang murid lmam Hasan Al Banna yang selalu menjalankan tugas dawahnya tanpa keluhan sedikit pun. Dialah yang disebutkan Hasan Al Banna, orang yang sepulang dari tempatnya bekerja sudah berada di
kota lain untuk memberikan ceramah kemudian berpindah tempat lagi untuk mengisi pengajian dan waktu ke waktu secara maraton. Ia selalu berpindah-pindah dari satu
kota ke
kota lain untuk menunaikan amanah dakwah. Sesudah menunaikan tugas dengan sebaik-baiknya ia merupakan orang yang pertama kali datang ke tempatnya bekerja malah ia yang membukakan pintu gerbangnya.
Pernah ia mengalami keletihan hingga tertidur di sofa rumah Zainab Al Ghazali. Melihat kondisi tubuhnya yang lelah dan penat itu, tuan rumah membiarkan tamunya tertidur sampai bangun. Setelah menyampaikan amanah untuk Zainab Al Ghazali, Abdul Fattah Abu Ismail pamit untuk ke
kota lainnya. Karena keletihan yang dialaminya, Zainab Al Ghazali memberikan ongkos untuk naik taksi. Abdul Fattah Abu lsmail mengembalikannya sambil mengatakan “Da’wah ini tidak akan dapat dipikul oleh orang-orang yang manja”. Zainab pun menjawab, Saya sering ke mana-mana dengan taksi dan mobil-mobil mewah tapi saya tetap dapat memikul da’wah ini dan saya pun tidak menjadi orang yang manja terhadap da’wah, karena itu pakailah ongkos ini, tubuhmu letih dan engkau memerlukan istirahat sejenak.” ia pun menjawab, “Berbahagialah ibu, ibu telah berhasil menghadapi ujian Allah SWT berupa kenikmatan-kenikmatan itu. Namun, saya khawatir saya tidak dapat menghadapinya sebagaimana sikap ibu, terima kasih atas kebaikan ibu, biarlah saya naik kendaraan umum saja”
Orang-orang yang telah membuktlkan kesetiaannya pada da’wah lantaran keyakinan mereka terhadap janji-janji Allah SWT. Janji yang tidak akan pernah dipungkiri sedikit pun. Allah SWT telah banyak memberikan janji-Nya pada orang-orang yang beriman yang setia pada jalan da’wah ini berupa berbagai anugerahNya. Sebagaimana yang terdapat dalam Al Qur’an:
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa) mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar”. (Al Anfal 8:29)
Dengan janji Allah SWT tersebut orang-orang beriman tetap bertahan mengarungi jalan da’wah ini. Dan mereka pun tahu bahwa penjuangan yang berat itu sebagai kunci untuk mendapatkannya. Semakin berat perjuangan ni semakin besar janji yang dibenikan Allah SWT kepadanya. Kesetiaan yang bensemayam dalam diri mereka itulah yang membuat mereka tidak akan pernah menyalahi janji-Nya dan mereka pun tidak akan pernah mau mengubah janji kepada-Nya.
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah, maka di antara mereka ada yang gugur dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak menubah (janjinya).” (Al Ahzab 33: 23)
Seorang pejuang
Palestine yang telah berlama-lama meninggalkan kampung halaman dan keluarganya untuk membuat mencari dukungan dunia dan dana pernah diwawancarai. Apa yang membuat Anda dapat berlama-lama meninggalkan keluarga dan kampung halaman.” Jawabnya adalah karena perjuangan, dan dengan perjuangan itu kemuliaan hidup mereka lebih berarti serta untuk masa depan bangsa dan tanah airnya. “Kalau bukan karena da’wah dan perjuangan kami pun mungkin tidak akan dapat bertahan,” linihnya.

Kesabaran Modal Kesetiaan
Kader da’wah sangat menyakini bahwa kesabaran yang ada pada dirinya yang membuat mereka kuat menghadapi berbagai tantangan dawah. Bila dibandingkan apa yang kita lakukan serta yang kita dapatkan sebagai resiko perjuangan di hari ini dengan keadaan onang-orang tendahulu dalam penjalanan da’wah ini belumlah seberapa. Pengorbanan kita di hari ini masih sebatas pengorbanan waktu untuk da’wah. Pengorbanan tenaga dalam amal khamniyah untuk kepentingan da’wah. Pengorbanan sebagian kecil dari harta kita yang banyak. Dan bentuk pengorbanan ecek-ecek lainnya yang telah kita lakukan. Coba lihatlah pengorbanan onang-orang terdahulu, ada yang disisir dengan sisir besi, ada yang digergaji, ada yang diikat dengan empat ekor kuda yang berlawanan arah lalu kuda itu dipukul untuk Iari sekencang-kencang hingga robeklah orang itu.
Ada pula yang dibakar dengan tungku yang berisi minyak panas. Mereka dapat menerima resiko karena kesabaran yang ada pada dirinya.
Kesabaran sebagai kuda-kuda pertahanan drang-orang beriman dalam meniti perjalanan ini. Bekal kesabanan meneka tidak pennah berkurang sedikit pun karena keikhlasan dan kesetiaan mereka pada Allah SWT
“Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dan pengikut (nya) yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (Al lmran
3: 146)
BiIa kita memandang kehidupan generasi pilihan, kita akan temukan kisah-kisah brilian yang telah menyuburkan da’wah ini. Muncullah pertanyaan besar yang harus kita tujukan pada diri kita saat ini. Apakah kita dapat menyemai da’wah ini menjadi subur dengan perjuangan yang kita lakukan sekarang ini ataukah kita akan menjadi genenasi yang hilang dalam sejarah da’wah ini? Ingat, dawah ini tidak akan pernah dapat dipikul oleh orang-orang yang manja. Militansi kader merupakan kendaraan yang akan menghantarkan kepada kesuksesan dawah ni. Wallahu a’lam bishowab

Sumber: Majalah SAKSI